BAGIAN
I
SEKILAS
TENTANG MUHAMMADYAH
Muhammadyah merupakan organisasi
islam yang telah dikenal , sejak zaman penjajahan belanada di mana pada saat
itu seluruh rakyat Indonesia sangat menderita , norma agama porak-poranda
akibat pengaruh belanda .Tradisi pun
mengikuti tradisi Kristen yang memang menjadi misinya ,kebiasaan berpesta-pora,
berdansa, mabuk-mabukan .
Keterbelakangan sebagian besar
rakyat Indonesia dalam hal beragama juga tanpak semakin parah. Pengenalan
terhadap Tuhan mereka lakukan dengan
yang terlintas di pikiran mereka .mereka menyembah pohon, meminta-minta
kepada kuburan, dan tempat-tempat yang di anggap keramat. Bahkan batu-batuan,
keris bertuah mereka jadikan sebagai benda sakti yang di anggap sebagai
kekuatan gaib. Pengaruh hindu budha sangat mewarnai pola pikir mereka .
MUHAMMADYAH DIDIRIKAN
Akibat pejajahan belanda mengakibatkan
kebodohan dan keterbelakangan seluruh kehidupan rakyat Indonesia . Pendidikan
hanya dinikmati oleh priyayi dan bangsawan saja . Melihat kondisi tersebut
,KH.Ahmad Dahlan seorang ulama dari kauman,di Yogyakarta bangkit dan mengajak
masyarakat Yogyakarta untuk keluar dari perangkap kebodohan itu . dan pada
tanggal 8 dzulhijjah 1330 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 november
1912 Miladiah, didirikan suatu wadah perjuangan yang dikenal dengan nama
Muhammadyah. Muhammadyah sebagai wadah pergerajan yang menggunakan dasar dasar
dan pendekatan islam menyatukan potensi bangsa Indonesia untuk mengusir para
penjajah dari bumi persada ,serta menyelamatkan umat islam dari praktek-praktek
beragama yang keliru .
BAGIAN
II
LAHIRNYA
MUHAMMADYAH DI KOTA MAKASSAR
1. Berlihnya AS-shirathal Mustaqiem
Menjadi Muhammadyah
Sekitar tahun 1922, seorang
pedagang batik keturunn Arab berasal dari sunenep (Madura) bernama mansyur
yamani datang dan membuka usaha dagangnya di jalan Passartraat (jalan nusantara
saat ini). Selain sebagai pedagang batik Mansyur yamani juga sebagai muballigh
Muhammadyahcabang Surabaya .
Setelah kurang lebih 3 tahun
keakraban hubungan sebagai relasi usaha dan sebagai kawan sefaham dalam
mengembangkan agama islam ,akhyrnya di adakan rapat oleh As-Shirathal
Mustagiem di rumah Haji Muhammad Ysuf
daeng Mattiro , seorang pedagang hasil bumi di daerang pelabuhan Makassar saat
itu ,dan di sepakatilah mendirikan organisasi Muhammadyah di Makassar dengan
mengalihkan perkumpulan Ash-Shirathal mustaqim menjadi Muhammadyah Group
(ranting) Makassar.
2.
Muhammadyah
Makassar 5 Tahun Pertama
Sekitar tahun 1926, Muhammadyah
Group Makassar di tinggkatkan menjadi Muhammadyah Cabang Makassar, dengan K.H.
Abdullah sebagai ketuanya,didampingi oelh tokoh-tokoh lainnya yang juga menjadi
pengurus sejak mula didirakannya, antara lain H.Nuruddin daeng Magassing
sebagai secretaris.
Mulai
berkantor
Setelah Muhammadyah mendapatkan
perhatian yang semakin besar dari masyarakat , maka para pengurus memperbaiki
penataan organisasi . salah satu wujud keseriusan tersebut maka para pengurus
mengusahakan ruang perkantoran yang sekalius dapat di jadikan tempat pertemuan.
Anggota Muhammadyah cabang
Makassar saat itu terpencar tempat tinggalnya ,bahkan ada yang dari luar kota
Makassar. Dengan demikian mereka berinisiatif mengadakan penerngan yang di
istilahkan “tabligh” di tempatya masing-masing.
Pada tahun 1927, Muhammadyah semkin
menempatkan kegiatannya. Sekitar bulan juli 1927, anggota Muhammadyah dari
kalangan wanita membentuk Aisyiyah cabang Makassar .
Mendirikan
Mesjid Ta’mir
Mesjid di kampung butung yang
didirikan oleh Haji Muhammad Thahir dan menjadi tempat orang-orang Muhammadyah
sholat jum’at di pandang tidak memadai lagi , terutama mesjid tersebut masih
sering terdapat orang yang melakukan bid’ah dan khurafat di dalamnya. Seorang
anggota Muhammadyah yang tinggal di kampong pisang yang bernama kamaliddin
mewakafkan sebidang tanahnya yang terleyak di suatu lorong di jalan banda untuk
dibangun mesjid .
Mendirikan
Tempat-tempat Pendidikan
Pada tahun 1929, Muhammdyah Cabang
Makassar berusaha mendirikan 2 buah sekolah yaitu :
a. Hollandsche indlandsche shool
metode AL-quran (HIS metode AL-quran ) sekolah ini setingkat dengan sekolah
dasar
b. Munir school, setinggkat dengan
,ibtidayyah ,
Pada tahun 1932 , Muhammadyah Cabang Makassar
mendatangkan lagi guru dari Sumatra yaitu haji Abdul Malik Karim dan calon
mubaligh Muhammadyah , Amrullah dan Zainal Dahlan .
Pemeliharaan Anak Yatim
Piatu
Pada
tahun 1929 , Muhammadyah cabang Makassar menambah lagi usahanya dengan
mengusahakan pemeliharaan anak yatim piatu . Oleh karena belum mempunyai gedung
khusus untuk itu , maka anak-anak yatim piatu di tampung di rumah Tuan Salamung
, salah seorang pimpinan Hizbul Wathan yang bertempat tinggal di lajan
Wijnverldweg ( jalan baru).
Ketabahan
menghadapi reaksi dan rintangan.
Kehadiran Muhammadiyah, Aisyiyah dan juga kemudian pemuda Muhammadiyah
dengan amalan-amalannya serta cita-cita yang diperjuangkannya, tidak diterima
oleh semua orang dengan gembira. Apa saja yang dilakukan organisasi ini, bahkan
sampai kepada tingkah laku dan pribadi para pengurusnya tidak luput dari
sorotan dan gunjingan orang-orang yang tidak senang, antara lain:
·
Orang-orang
Muhammadiyah yang memakai celana panjang dituding orang Nasrani, serta shalat
tanpa kopiah disebut kafir,
·
Orang-orang
Muhammadiyah yang shalat jum’at dengan sekali adzan dan dengan khotbah bahasa
Indonesia atau bahasa daerah dituduh perusak agama dan diperkarakan di
pengadilan,
·
Orang-orang
Muhammadiyah yang tarwih di bulan Ramadhan dengan 8 rakaat ditambah witir 3
rakaat dengan sekali salam, serta shalat ied di tanah lapang terbuka dituduh
orang sesat dan merusak agama,
·
Orang-orang
Muhammadiyah dan Aisyiyah yang mengumpulkan bantuan penyantunan yatim piatu
dituduh pula hanya memperalat anak yatim untuk menutupi kebutuhan rumah
tangganya,
·
Orang-orang
Muhammadiyah yang tidak bertalkin dan membaca surah Yasiin di kuburan orang
yang baru meninggal dan tidak pula merayakan dengan selamatan dan sesajen
kiriman kepada keluarga yang telah meninggal, dituding sebagai pendurhaka
kepada leluhur dan merusak agama nabi Muhammad SAW.
Namun kesemuanya itu dihadapi oleh anggota
Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan ketabahan, kesabaran dan semangat beramal yang
tinggi.
BAGIAN III
PERKEMBANGAN
MUHAMMADIYAH DI DAERAH SULAWESI SELATAN DAN SEKITARNYA
1. Peran pedagang dalam menyebarkan
Muhammadiyah
Dari kota Makassar, Muhammadyah
berkembang ke daerah-daerah di pedalaman Sulawesi selatan ,Sulawesi tengah dan
Maluku. Pengurus Muhammadiyah cabang Makassar pertama tahun 1926 itu adalah
pedagang, kecuali Daeng minggu yang bekerja sebagai mandor kepala di pelabuhan
Makassar .
Sebagai pedagang , beliau mempunyai
relasi dagang dengan pedagang dari daerah lain. Hubungan dagang yang di jalin
dengan baik digunakan untuk menyampaikan cita-cita dan perjuangan Muhammadiyah,
pedagang-pedagang relasi mereka itu terbuka hatinya memahami dan menerima
faham-faham muhammadiyah.
2. Muhammadiyah Terbentuk DI Daerah-daerah
A.
Muhammadiyah
di Rappang,PInrang, Pare-pare, dan Majenne
Pada
tahun 1928, Haji Zaini sekeluarga mendirikan Muhammadiyah group Rappang . Haji
zaini adalah pedagang yang terkenal dan mempunyai hubungan dagang sampai ke
Singapura. Kegiatan pertama yang
dilakukan setelah terbentuknya ialah dengan mengadakan pengajian-pengajian. Kemudian
mendirikan sekolah ibtidaiyah serta tsanawiyah. Guru-guru didatangkan untuk
mengajar dan membina sekolah itu .
Pada
tahun 1929 pengurus Muhammadiyah yang telah di tinggkatkan dari group menjadi
Cabang, berhasil didirikan Muhammadiyah di pare-pare . pengurus Muhammadiyah
Cabang Rappang berhasil mendirikan Muhammadiyah group Majene(mandar) dibawah
pinpinan Haji Abdul Rahim dan Haji harun, keduanya adalah ulama di daerah
mandar .
B.
Muhammadiyah
di Sengkang clan Soppeng
Salah
seorang pedagang relasi mansyur yamani ialah S. Ahmad Balahmar dari senggkang.
Beliau pun antusias dan menjadi anggota Muhammadiyah di Kota Makassar. Di
senggkang beliau berusaha mengadakan pertemuan dengan keluarga-keluarganya
serta sahabat-sahabatnya . para peserta pertemuan itu pun terbuka hatinya
memasuki Muhammadiyah da disepakatilah oleh mereka mendirikan Muhammadiyah di
senggkang .
C. Muhammadiyah di Daerah Pangkajene,
Maros dan Barru
Salah
seorang pengurus Muhammadiyah cabang Makassar yakni Haji Andi sewang Daeng
Muntu. Beliau adalah bangsawan Makassar dan bertempat tinggal di Labbakkang ,
pangkep , sebuah desa yang terkenal dengan tambak (empang ). Atas usaha beliau,
tahun 1928, sebagai seorang bangsawan dan berpengaruh didaerahnya, para kaum
bangsawan keluarganya menjadi pedukung, sehingga Muhammadiyah dan amal-amal
usahanya berkembang dengan baik.
Amal
usaha yang di upayakan Group ini ialah mengadakan pengajian dengan mendatangkan
muballigh dari Makassar dan dan mendirikan madrasah diniyah.
D. Muhammadiyah di Daerah Gowa, dan
Takalar
Tahun
1929-1930 adalah tahun-tahun berdirinya Muhammadiyah daerah zelfbestuur
(swapraja) Gowa dan onderafdeling Takalar.
Abu
Bakar Daeng Bombong salah seorang anggota Muhammadiyah group mariso bertempat
tinggal di Pabaeng-baeng dengan pekerjaannya sebagai tukang jahit dan aktif
mengikuti pengajian di Mariso, mempelopori berdirinya Muhammadiyah group
jongaya pada tahun 1928,. Jongaya adalah desa yang termasuk wilayah swapraja
Gowa.
Abu
Bakar Daeng Bombong mempunyai mushallah yang dibangunnya sendiri dekat
rumahnya. Di moshallah tersebut diadakan pengajian dan peserta peserta
pengajian tersebut pun mendirikan Muhammadiyah group jengaya.
3. Muahammadiyah di Daerah
Bantaeng,Bulukumba,Sinjai, Selayar dan jeneponto
A.
Muhammadiyah
di Daerah Bantaeng
Empat
daerah tersebut adalah wilayah pemerintahan afdehng Bantaeng yang beribukota
Banteng . pedagang-pedagang di Bantaeng yang menjadi anggota tersiar dari
Muhammadiyah Cabang Makassar berusaha mendirikan Muhammadiyah di daerah itu,
pada tahun 1927, Daeng paris, Osman alias Sammang, Tanawali dan Muhammad Osman
adalah pelopor brdirinya Muhammadiyah group Bantaeng pada tahun 1927 tersebut .
Pada tahun 1931,telah dapat pula didirikan
Aisyiyah group Bantaeng dipinpin oleh sitti Daeng Lebo , serta didirikan pula
Hizbul Wathan dengan pinpinan salamun . Pengajian-pengajian pun rutin di adakan
dengan mendatangkan muballigh dari Makassar. Usaha pendidikan pun di upayakan
dengan mendirikan madrasah ibtidaiyah.
B.
Muhammadiyah
di daerah Bulukummba
Pada
tahun 1930, pemuka agama islam di ponre( sebuah kampong di Bulukumba)
mendirikan satu organisasi islam dengan nama SADAR. Pada mulanya organisasi ini
giat melakukan kursus pemberantasan buta huruf dan membuka taman bacaan. Pada
tahun 1931, pengurus organisasi ini menyampaikan permohonan kepada pemerintah
setempat untuk mengadakan sekolah yang lebih teratur. Controleur Bulikumba
menyatakan bahwa pemerintah hanya mengizinkan membuka sekolah kepada organisasi
yang di akui pemerintah . Atas kesepakatan semua anggota dan pengurus SADAR,
organisasi inipun di alihkan menjadi Muhammadiyah Maka pada tahu 1932, konsulat Muhammadiyah
Sulawesi selatan yang waktu itu sudah terbentuk dan di tugaskan oleh
Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta untuk membina dan mengembangkan
Muhammadiyah di Sulawesi selatan , dan mengirim Mansyur Yamani untuk meresmikan
muhammadiyah group ponre .
C.
Muhammadiyah
di Daerah Sinjai
Pada
tahun 1928, Muhammadiyah group sinjai dapat didirikan atas kepeloporan Ahmad
Marsuki bersama Muhammad Sanusi , Andi bintang dan labuana usaha mereka
mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat . pada tahun 1928
Muhammadiyah sinjai juga mendirikan Hizbul Wathan group Balangnipa-sinjai .
Pada tahun 1930 Muhammadiyah Balangnipa-sinjai dengan membentuk pula Aisyiyah
group .
D.
Muhammadiyah
di Pulau Selayar
Penduduk
Pulau Selayar termasuk rumpun suku Makassar . Orang-orang dari Selayar yang
berdiam di Makassar banyak yang berperan dalam menyebarkan faham dan cita-cita
Muhammadiyah .Pada tahun 1930 kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
menyebarkan faham dan cita-cita Muhammadiyah terutama dalam bentuk pengajian
keliling dan tidak mendapat hambatan yang berarti sehingga pada tahun 1930-1931
muhammadiyah dapat berkembang dengan baik dan disusul didirikannya Aisyiyah.
E.
Muhammadiyah
di Daerah Jeneponto
Pada tahun 1929 , Sinowa Daeng
Lalang, seorang anggota tersiar Muhammadiyah Group Makassar telah giat
memberikan penjelasan-penjelasan tentang Muhammadiyah kepada keluarga dan
sahabatnya.
Selain melakukan tabligh keliling
dan pengajian, Muhammadiyah group jeneponto mendirikan madrasah ibtidaiyah dan
Tsanawiyah , keduanya di bangun pada tahun 1933. Untuk membina pendidikan itu
didatangkan guru yang bernama Hasyimn dari jawa. Pada tahun tersebut juga telah
di bentuk Muhammadiyah group Tamanroya dan group Arungkeke. Disususl group
Poko’bulu dan group tanetea .kehadiran dan perkembangan Muhammadiyah di
jeneponto berjalan lancer karena dipelopori tokoh-tokoh masyarakat yang sangat
berpengaruh di dalam masyarakat .
F.
Muhammadiyah
Di Luwu dan Tana Toraja
Andi
Djurangga, Vice Voorsitter Muhammadiyah group sengkang , adalah seorang
bangsawan dari daerang Luwu(palopo) yang bermukim di sengkang . sebagi seorang
aktifis Muhammadiyah beliaulah yang berjasa membawa dan menyebarkan faham dan
cita-cita Muhammadiyah di daerah kerajaan Luwu.
Pada
tahun 1929, setahun setelah kehadirannya di daerah Luwu ,Muhammadiyah group
palopo di angkat menjadi Muhammadiyah cabang palopo , Pada tahun 1930
Muhammadiyah Cbang palopo telah dapat membuka sekolah dengan menggunakan gedung
yang dibangun secara gotong-royong . Di bukanya standar-school Muhammadiyah dan
Wustha Mu’allimin dengan mendatangkan guru dari Yogyakarta bernama ustads
Muhsin .
G.
Muhammadiyah
di Enrekang
Pada
tahun 1933 , Muhammadiyah menancapkan kakinya didaerah yang sebagian besar
daerahnya adalah pegunungan dengan status sebagai group di bawah pimpinan
Muhammadiyah Cabang rappang .
Selain
dari menggiatkan pengajian-pengajian Muhammadiyah group enrekang mendirikan
sekolah Mu’Allimin dengan guru pembimbing M. Arifin yang di datangkan dari Baru
sangkar (sumatera) di bantu oleh guru dari enrekang sendiri .
4. Beberapa peristiwa penting
Muhammadiyah di Sulawesi selatan pada lima tahun pertama
a.
Sholat
Idul fitri di lapangan terbuka di sengkang yang banyak menuai protes dan
kecaman dari pihak-pihak yang tidak menyetujuinya
b.
Peristiwa
tabligh umum Bulukumba yang mengakibatkan pertengkaran antara para pengurus
Muhammadiyah dengan pihak yang melarang tabligh tersebut .
c.
Melayani
tantangan berdebat secara terbuka di muka umum dengan ulama yang di akui
keulamaanya di masyarakat palopo
BAGIAN IV
PERKEMBANGAN PISIK
ORGANISASI SAMPAI MASA PENDUDUKAN JEPANG, MUKTAMAR MUHAMMADIYAH KE-21 DAN
MUSYAWARAH DAERAH YANG DILAKUKANNYA
1. Perkembangan pisik Muhammadiyah
selama 15 tahun (1926-1941).
Sejak mula kehadirannya pada
tahun 1926 di kota Makassar sampai dengan bulan April 1941, di Sulawesi Selatan
telah terbentuk enam cabang Muhammadiyah dan 81 groep (ranting). Selain itu,
majelis perwakilan Muhammadiyah Sulawesi Selatan juga membina ranting
Salabangka di Sulawesi Tengah (sebagai ranting ke-82).
Sampai dengan tahun 1932,
Muhammadiyah telah mendirikan 21 buah sekolah yang terdiri dari Volksschool
(sekolah dasar), HIS (Hollandsche Inlandsche School), Diniyah School
(madrasah), Standardschool (sekolah dasar yang didalamnya diajarkan bahasa
Belanda) dan beberapa kursus wanita.
Sampai dengan tahun 1941, telah
mendirikan 56 buah sekolah dan madrasah dengan jumlah murid sekitar 5.000
orang, yang diasuh dan dibina oleh 79 orang guru. Juga mendirikan 41 buah
masjid dan mushalla yang tersebar di ranting dan cabang-cabang.
Suatu peristiwa organisasi yang
sangat bersejarah bagi Muhammadiyah di daerah Sulawesi Selatan ini ialah
Muktamar Muhammadiyah ke-21 di kota Makassar, yang telah berlansung dengan baik
selama 7 hari, yakni dari tanggal 1-7 Mei 1932. Pusat kegiatan muktamar ini
diselenggarakan di lapangan Karebosi di jantung kota Makassar, dihiasi dengan
bendera Muhammadiyah, Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan, yang
jumlahnya tidak kurang dari 3.000 buah. Muktamar ini dihadiri sekitar 3.000
orang utusan dan penggembira.
2.
Di
masa pendudukan Jepang.
Pemerintah Jepang pada saat itu
melakukan pembekuan semua kegiatan organisasi rakyat, termasuk membekukan
Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan memerintahkan untuk menutup semua
sekolah-sekolahnya.
Oleh karena hubungan
surat-menyurat dari konsulat Muhammadiyah Sulawesi Selatan dengan cabang dan
rantingnya di daerah pedalaman dianggap tidak aman, maka konsul Muhammadiyah
Sulawesi Selatan H. Andi Sewang Daeng Muntu berusaha mendatangi cabang dan
ranting Muhammadiyah se Sulawesi Selatan dengan berkendaraan sepeda secara marathon..
Untuk memperoleh simpati dari
umat Islam yang menjadi penduduk terbesar di daerah ini, pemerintah Jepang
mendirikan organisasi baru dengan nama “Jam’iyah Islamiyah” sebagai
satu-satunya organisasi bagi umat Islam.
Organisasi ini dipimpin oleh orang
Jepang, diketuai oleh seorang perwira bernama Umar Faisal Kobayasi. Agar
mendapat simpati masyarakat, Umar Faisal Kobayasi yang dapat berbicara dan
berpidato dalam bahasa Arab, diisulkan sebagai ulama muslim yang telah menempuh
pendidikan di Al-Azhar Mesir. Umar Faisal Kobayasi didampingi oleh orang-orang
Jepang yang mengaku muslim.
Untuk memperoleh kepercayaan dari
umat Islam, beberapa tokoh Islam Sulawesi Selatan ditarik dalam kepengurusan
Jam’iyah Islamiyah. Beberapa tokoh Muhammadiyah tidak dapat mengelak dari
keharusan ikut serta dalam organisasi ini. Dapat dipahami bahwa mereka ikut
dalam organisasi bentukan Jepang ini untuk menghindari tindakan dan perlakuan
pemerintah dan tentara Jepang yang dapat mencelakakannya.
Usaha lain dari pemenrintah
jepang untuk menarik simpati ummat Islam ialah mendirikan sekolah untuk
menampung pemuda-pemuda islam yang sekolahnya telah ditutup. Untuk mengajarkan
pelajaran agama Islam diangkat beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai guru.
Banyak juga pimpinan Pemuda
Muhammadiyah, terutama pimpinan Hizbul Wathan, yang mendapat tugas menjadi
pemuka di Seinen dan, organisasi pemuda bentukan Jepang, bahkan ada yang
memasuki Hei-ho, tentara sukarela bentukan Jepang. Mereka memasuki badan-badan
tersebut untuk mendapat pengetahuan kemiliteran, menggunakan senjata api, yang
ternyata sangat besar manfaatnya bagi mereka pada waktu revolusi kemerdekaan.
BAGIAN V
MUHAMMADIYAH DAN
PERJUANGAN KEMERDEKAN DI SULAWESI SELATAN
1. Muhammadiyah kembali aktif
Berita tentang proklamasi
kemerdekaan baru diketahui secara terbatas di daerah Sulawesi Selatan sekitar
bulan September 1945, yakni setelah Dr. Sam Ratulangi dan Andi Pangerang PettaRani
telah berada di daerah ini sekembalinya menghadiri momentum bersejarah,proklamasi
kemerdekaan tersebut.
Warga Muhammadiyah yang selama
pendudukan Jepang mengendapkan kegiatannya, setelah menyambut berita proklamasi
kemerdekaan itu dengan kembali bersemangat melanjutkan perjuangannya.
Pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuan terbatas mereka adakan dengan tema
sentral yaitu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan.
Namun demikian, di semua tingkat kepengurusan, mempunyai pandangan dan sikap
yang sama untuk menata kembali organisasi dan menghidupkan amal usahanya,
seraya melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
2. Warga Muhammadiyah dalam
pemberontakan bersenjata
Pada tanggal 23 September 1945,
pasukan sekutu terdiri dari tentara Australia ditambah dengan tentara Inggris
mendarat di kota Makassar. Beberapa tentara Belanda menggandeng para tentara
Australia, untuk memepersiapkan sarana dan personil dalam rangka pembentukan
pemerintahan sipil di Sulawesi Selatan yang dinamakannya Netherlandsch Indie
Civil Administration, populer dengan nama NICA. Memasuki tahun 1946, Belanda
mengusahakan memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah pedalaman di daerah
Sulawesi Selatan. Perlawanan rakyat terhadap tentara NICA tak dapat dielakkan
dan semakin menampakkan bentuknya serta tersebar di berbagai wilayah. Anggota-anggota
Muhammadiyah, terutama yang pernah aktif di kepanduan Hizbul Wathan tampil
memegang peran dalam mengorganisir perlawanan rakyat ini, bersama-sama dengan
pemuda dari golongan lain. Terbentuklah kelasykaran-kelasykaran, baik di kota
makassar maupun di daerah-daerah.
Pada bulan Mei 1946, kelasykaran
di Sulawesi Selatan yang berjumlah 19 kelompok, mengadakan pertemuan besar di
Polongbangkeng dan membentuk organisasi gabungan kelasykaran sebagai upaya
mempersatukan kekuatan menghadapi Belanda, dengan nama Lasykar Pemberontak
Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Sebagai panglima dari kelasykaran gabungan
ini adalah Ranggong Daeng Romo dari kelasykaran Lipang Bajeng. Adapun pimpinan
pemerintahan republik Indonesia dipercayakan kepada Haji Makkaraeng Daeng
Manjarungi, ketua Muhammadiyah ranting Palleko waktu itu, sebagai pelaksana
pemerintahan, karena Dr. Sam Ratulangi, sebagai gubernur Sulawesi berada di
daerah pendudukan (Makassar).
Belanda, yang dipelopori Letnan
Jendral H. J. Van Mook, mengadakan konperensi di Malino pada tanggal 15-25 Juni
1946. Pada konperensi ini Belanda memutuskan meletakkan dasar-dasar pembentukan
negara Indonesia serikat. Kemudian disusul dengan konperensi Denpasar (Bali)
pada tanggal 8 Desember 1946. Konperensi ini melahirkan negara Indonesia Timur,
lengkap dengan pejabat-pejabat terasnya.
3. Konperensi darurat Muhammadiyah
daerah Sulawesi Selatan di kota Makassar
Konsulat Muhammadiyah Sulawesi
Selatan memepersatukan pendapat dan sikap menghadapi situasi yang semakin
buruk. Ada dua alasan konsulat Muhammadiyah memandang perlu mengadakan
konperensi pada saat itu, yaitu:
a.
Banyaknya
desakan-desakan dari daerah agar Muhammadiyah kompak dan utuh menghadapi
keadaan.
b.
Sulitnya
melakukan hubungan dengan pimpinan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta guna
memperoleh petunjuk-petunjuk dan pedoman menghadapi keadaan yang semakin
genting.
Konperensi darurat (istimewa)
Muhammadiyah daerah Sulawesi Selatan yang bersejarah itu dilangsungkan pada
bulan Juni 1946, bertempat di Muhammadiyah ranting Mamajang. Konperensi darurat
(istimewa) itu berlangsung selama dua hari dengan menetapkan keputusan yang
sangat bersejarah dan berbobot, yaitu:
1)
Muhammadiyah
di daerah Sulawesi Selatan berdiri di belakang republik Indonesia yang berpusat
di Yogyakarta.
2)
Muhammadiyah
Sulawesi Selatan tetap di bawah koordinasi pimpinan pusat Muhammadiyah di
Yogyakarta.
4. Pengorbanan warga Muhammadiyah
dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan.
Perjuangan rakyat Sulawesi
Selatan menghadapi Belanda semakin meningkat setiap hari. Siang dan malam,
pasukan NICA dikerahkan ke daerah Polongbangkeng, karena mereka tahu bahwa di
daerah itulah pusat kekuatan para pejuang. Sejak bulan Februari 1946 sampai
Februari 1947, terjadi pertempuran sekitar 57 kali. Sekolah-sekolah, masjid dan
mushalla Muhammadiyah telah berfungsi ganda, selain sebagai tempat mendidik
anak-anak atau tempat melaksanakan shalat berjamaah, juga menjadi arena
penggemblengan semangat, tempat diskusi untuk mencari perlengkapan militer,
terutama kebutuhan logistik yang akan disuplaikan ke kubu-kubu para pejuang.
Jatuhnya korban yang
tidak sedikit dalam mempertahankan kemerdekaan, tidaklah menyebabkan lemahnya
semangat dan keberanian warga Muhammadiyah terutama pemuda-pemudanya. Mereka
dengan ijtihadnya masing-masing berkeyakinan bahwa sikap politik Muhammadiyah
yang telah dicetuskan pada konperensi darurat (istimewa) di Mamajang-Makassar,
bahwa Muhammadiyah berdiri di belakang Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta tetap menjadi tekad membara dalam dada setiap warga Muhammadiyah di
daerah ini. Dalam kondisi dan situasi serba sulit mereka berupaya
menggerak-lincahkan organisasi agar dapat memberikan saham optimal dalam
perjuangan merealisasikan keputusan politik tersebut di atas. Usaha ini dilakukan,
selain karena dorongan rasa kewajiban menegakkan Islam dan menjayakan umatnya
secara teratur dan terarah, juga karena berkeinginan agar organisasi ini
menjadi sarana perjuangan yang efektif dalam memperkokoh tekad warganya
membentengi kemerdekaan bangsanya.
BAGIAN VI
KEMBALI KE PANGKUAN
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
1. Muhammadiyah setelah terbentuk
partai Masyumi
Permulaan tahun 1950 terbentuklah Masyumi
cabang Makassar sebagai cabang pertama di Sulawesi Selatan dengan Abdul Haji
Daeng Mangka dari Muhammadiyah sebagai ketuanya. Dalam waktu singkat, partai
Masyumi telah merata terbentuk di seluruh Sulawesi. Pengurus dan anggota
Muhammadiyah, Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah di cabang dan di ranting
berusaha pula melibatkan diri dalam pembentukan cabang, anak cabang dan ranting
partai Masyumi bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya ditempatnya
masing-masing. Di tingkat kepengurusan anak cabang dan ranting dari partai
inipun pada umumnya dipercayakan kepada pengurus dan anggota muhammadiyah yang
dikenal berpengalaman dalam keorganisasian.
Pada pemilihan umum pertama tahun
1955, empat diantara enam kursi parlemen Republik Indonesia yang diperoleh oleh
Masyumi di daerah pemilihan Sulawesi Selatan adalah pimpinan-pimpinan
Muhammadiyah. Melalui pemilihan umum ini pula telah menempatkan beberapa
pengurus dan penggerak Muhammadiyah, Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah menduduki
kursi di lembaga perwakilan rakyat tingkat kabupaten dan kotapraja, baik
sebagai anggota DPRD maupun sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
2. Muhammadiyah di tengah-tengah
kancah gerakan DI-TII Sulawesi Selatan
Sejak tahun 1953, Sulawesi
Selatan dan Tenggara dalam suasana tidak aman akibat dari adanya gerakan DI dan
TII, sebagian besar pedesaan di pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara dalam
penguasaan mereka. Ranting-ranting Muhammadiyah dan amal usahanya menjadi
lumpuh. Sekolah dan madrasahnya tutup, guru-guru meninggalkan posnya, hijrah ke
kota atau ke daerah lain. Terdapat juga pengurus atau guru-guru yang terpaksa
ikut masuk hutan. Ada pula diantara pemuka-pemuka atau pengurus muhammadiyah
dan Aisyiyah yang diculik dikediamannya, atau dihadang lalu diculik dalam
perjalanannya. Bertahun-tahun mereka di tengah-tengah kekuasan DI-TII, barulah
setelah operasi pemulihan keamanan yang dilakukan oleh TNI secara intensif,
mereka dapat dibebaskan.
3. Masa penataan kembali organisasi
dan amal usaha
a.
Penyelenggaraan
konperensi-konperensi daerah
Selama dasa warsa kelima telah
diselenggarakan konperensi daerah, yaitu:
·
Pada
tahun 1950 diselenggarakan di Bantaeng
·
Pada
tahun 1951 diselenggarakan di Makale
·
Pada
tahun 1952 diselenggarakan di Pare-pare
·
Pada
tahun 1954 diselenggarakan di Rappang
·
Pada
tahun 1959 diselenggarakan di Watangsoppeng
Konperensi daerah di Bantaeng adalah konperensi daerah
pertama di bawah kekuasaan negara dan bangsa Indonesia. Selain itu, konperensi
tersebut merupakan:
·
Forum
reuni para pengurus dan pimpinan Muhammadiyah se Sulawesi Selatan selama hampir
10 tahun lamanya mereka membekukan diri di tempat masing-masing.
·
Ukuran
serta menjadi fakta bahwa kecintaan dan kepercayaan kepada organisasinya
demikian pula semangat dan dedikasi beramal didalamnya tidaklah menjadi pudar
dalam kesulitan yang berlangsung bertahun-tahun dan rintangan menggunung yang
selalu dihadapinya.
b.
Perubahan
struktur organisasi
Pada tahun 1953,
pemerintah telah melakukan pemekaran daerah pemerintahan propinsi kemudian
disusul dengan pemekaran daerah pemerintahan kabupaten-kotapraja. Untuk
menyesuaikan dengan struktur pemerintahan yang berlaku, maka dilakukan pula
perubahan susunan dan jenjang kepengurusan dalam Muhammadiyah, termasuk
organisasi otonomnya.
c.
Konperensi
daerah menjadi musyawarah wilayah
Untuk mengadakan
evaluasi terhadap perkembangan organisasi dan pembinaan amal usaha maka antara
tahun 1960 sampai 1965, telah dilangsungkan konperensi daerah yang kemudian
dirubah namanya menjadi musyawarah wilayah, yaitu:
·
Tahun
1961 bertempat di Sengkang
·
Tahun
1962 bertempat di Bantaeng
·
Tahun
1964 bertempat di Pinrang
·
Tahun
1965 bertempat di Jeneponto
4. Perubahan-perubahan dalam sikap
beragama.
Hal dan masalah yang
dulunyadituduh sebagai faham sesat dan merubah-ubah agama, berangsur-angsur
telah diterima dan dibenarkan oleh masyarakat.
·
Shalat jum’at dengan sekali adzan dan dengan khotbah
bahasa Indonesia atau bahasa daerah telah merata dilakukan di Sulawesi Selatan.
·
Shalat
Iedul Fitri atau shalat Iedul Adha di lapangan terbuka (bukan di dalam masjid)
telah berlaku pula baik di perkotaan maupun di desa-desa.
·
Shalat
tarwih dan witir di bulan Ramadhan dengan jumlah rakaat 8 ditambah 3 rakaat
witir semakin banyak yang melakukannya.
·
Penguburan
jenazah tanpa pembacaan talkin di atas kuburan itu, demikian pula tidak
melakukan selamatan tahlilan pada hari-hari tertentu dari kematian seseorang,
tidak lagi dituduh perbuatan merubah-ubah agama dan tidak lagi menjadi
perdebatan yang berakhir dengan perselisihan.
·
Pengaluran
pungutan zakat fitrah dan zakat harta kepada fakir miskin, yatim piatu,
pembangunan proyek-proyek sosial, tidak lagi digunakan oleh modim-modim di desa
dan pembantu-pembantunya untuk kepentingan sendiri.
Dan banyak lagi perubahan dalam sikap beragama yang
menggembirakan.
BAGIAN VII
MUHAMMADIYAH DI
SULAWESI SELATAN DAN PERISTIWA PENGHIANATAN G.30.S-PKI
1. Gambaran kekuatan Komunisme di
Indonesia
Memasuki tahun enam puluhan,
keadaan perekonomian di Indonesia semakin memburuk, kehidupan rakyat semakin
sulit. Kebutuhan pangan diatur dengan sistem jatahan dan untuk memperolehnya
rakyat harus antri panjang. Tingkat inflasi mencapai di atas 600% pada tahun
1964.
Kondisi ekonomi dan kehidupan
masyarakat yang demikian menjadi pesemaian subur semakin melebarnya pengaruh
PKI yang datang kepada buruh tani dengan janjinya akan membagikan tanah. Kaum
buruh di kota-kota lebih mudah lagi dipengaruhi dengan jebakan akan menjadikan
mereka sebagai pemilik dari perusahaan tempat mereka bekerja, pabrik-pabrik dan
sumber-sumber produksi lainnya menjadi daya penarik yang sangat ampuh. Mereka
pun berusaha dan berhasil menyusup ke tubuh alat-alat kekuasaan negara dan
berhasil mempengaruhi sebagian dari mereka.
Indonesia waktu itu menjadi
negara yang terbesar kekuatan komunisnya di dunia, di luar dua negara kubu
komunis sendiri yaitu Rusia dan RRC. PKI merasa telah kuat. Kekuatannya berakar
pada kaum buruh dan petani, pada pemuda dan sebagian alat-alat kekuasaan
negara.
2. Kokam wilayah Sulawesi Selatan
didirikan
Melihat situasi politik yang
semakin tidak menentu dan agresifitas PKI yang semakin merajalela, maka
Pengurus Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) dibentuk. Hal
ini dimaksudkan untuk membentengi generasi muda Indonesia khususnya umat Islam
dari pengaruh buruk PKI.
Pada tanggal 9-11 November 1965,
diselenggarakan konperensi kilat darurat dari seluruh pimpinan Muhammadiyah dan
Pemuda Muhammadiyah se Indonesia di Jakarta untuk memusyawarahkan “apa dan bagaimana
Muhammadiyah menghadapi penghianatan PKI”. Disepakatilah suatu keputusan yaitu
“menghancurkan sampai lenyap gestapu-PKI adalah termasuk ibadah”. Dalam
konperensi ini diputuskan pula untuk membentuk kesatuan khusus yang mempunyai
tugas pokok, antara lain:
a.
Bersama-sama
dengan ABRI menghancurkan gestapu-PKI sampai ke akar-akarnya.
b.
Menjaga
keselamatan warga, pimpinan-pimpinan dan harta benda Muhammadiyah dari
kebiadaban penteroran gestapu-PKI.
BAGIAN VIII
DALAM ERA ORDE BARU
1. Perkembangan Muhammadiyah pada
permulaan Orde Baru (ORBA)
Terjalinnya hubungan baik antara
pra pemimpin Muhammadiyah di semua tingkatan kepengurusan dengan pihak pejabat
pemerintahan, terutama dengan alat-alat kekuasaan negara, semakin menciptakan
suasana yang melapangkan medan bagi Muahammadiyah untik mengembangkan dirinya.
Keadaan yang melegakan itu menyebabkan beberapa ranting Muhammadiyah dan
organisasi-organisasi dalam lingkungannya yang sekian lama tidak aktif akibat
beberapa sebab, para pengurusnya kembali bergairah dan bangkit. Selain itu,
dari beberapa daerah dan tempat yang dahulunya tidak bersedia menerima
Muhammadiyah, berusaha pula mendirikan ranting. Selama periode 1965 sampai
tahun 1968, telah dibentuk 25 Pimpinan Daerah, 106 Pimpinan cabang dan 60
ranting.
2. Muhammadiyah dalam status Ormaspol
Pemerintah orde baru berkehendak
memeberikan kesempatan kepada Muhammadiyah ikut serta perperandalam bidang
politik. Dengan berperannya dalam bidang politik pemerintahan menjadikan
Muahammadiyah organisasi masyarakat yang berfungsi politik atau disingkat
ormaspol.
Sebagai akibat dari status dan
fungsi ormaspol tersebut, Muhammadiyah wilayah Sulawesi Selatan Tenggara
menyediakan tenaga-tenaga yang ditugaskannya ikut dalam kegitan-kegiatan
politik praktis di daerah dalam kelompok atau fraksi spiritual, baik dalam
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong Sulawesi Selatan maupun
dalam Badan Pemerintahan Harian (BPH) Sulawesi Selatan yang bertugas
mendampingi dan membantu Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Selatan
menjalankan tugasnya.
3. Muhammadiyah Partai Muslimin
Indonesia
Partai Muslimin
Indonesia (PARMUSI) lahir pada bulan Februari 1968, berlandaskan Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 70 tahun 1968. Sejak lahirnya partai
ini, Muhammadiyah kembali kepada status dan fungsi yang telah diembannya sejak
mula didirikannya sebagai organisasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah
amar ma’ruf dan nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat.
4.
Muktamar
Muhammadiyah ke-38 di Makassar
Muktamar Muhammadiyah ke-38 yang
dilangsungkan di Makassar (Sulawesi Selatan) pada bulan September 1971,
dilatarbelakangi antara lain oleh adanya anggapan pihak-pihak lain yang menilai
adanya hubungan antara Muhammadiyah dengan wadah politik tertentu. Muktamar ini
dimaksudkan untuk menetapkan keputusan yang penting dan fundamental tentang
hubungan Muhammadiyah dengan partai-partai dan organisasi lain. Keputusan
tersebut adalah:
a.
Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan
masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi
dari suatu partai politik atau organisasi apapun.
b.
Setiap
anggota Muhammadiyah, sesuai dengan hak asasinya, dapat tidak memasuki atau
memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar,
anggaran rumah tangga dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam
persarikatan Muhammadiyah.
c.
Untuk
lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah setelah pemilihan umum
1971, Muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar secara konstruktif dan
positif terhadap Partai Muslimin Indonesia seperti halnya terhadap
partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya.
d.
Untuk
lebih meningkatkan partisipasi Muhammadiyah dalam pelaksanaan pembangunan
nasional, mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muahammadiyah untik menggariskan
kebijaksanaan dan mengambil langkah-langkah dalam pembangunan ekonomi, sosial
dan mental spiritual.
Selain keputusan-keputusan,
muktamar ini juga menetapkan program kerja Muhammadiyah periode 1971-1974
dengan rumusan pokoknya mewujudkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam
amar ma’ruf nahi mungkar yang berkesanggupan menyampaikan ajaran Islam yang bersumber
Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW kepada semua lapisan dan golongan
masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, sebagai kebenaran serta segala hal
yang diperlukan.
BAGIAN IX
AMAL USAHA MUHAMMADIYAH
DI WILAYAH SULAWESI SELATAN
1. Keadaan pisik organisasi
·
Telah
terbentuk 22 Pimpinan Muhammadiyah Daerah pada setiap kabupaten-kotamadya
kecuali pada kabupaten Mamuju.
·
Telah
terbentuk 129 cabang dan 156 ranting dengan anggota seluruhnya 9812 orang
dengan perincian 6432 anggota pria dan 3380 anggota wanita.
2. Organisasi-organisasi otonom
Sampai
tahun 1985, organisasi otonom Muhammadiyah yang ada adalah:
·
Aisyiyah
·
Nasyiyatul
Aisyiyah
·
Pemuda
Muhammadiyah
·
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah
·
Ikatan
Pelajar Muhammadiyah
·
Tapak
Suci Putera Muhammadiyah.
3. Kegiatan di bidang dakwah
Dakwah ke dalam
a.
Mengadakan
pengajian di kalangan pimpinan secara rutin,
b.
Mengadakan
pengajian untuk anggota-anggota secara rutin,
c.
Setiap
menjelang tibanya bulan Ramadhan, diadakan pertemuan muballigh-muballighat
Muhammadiyah se Sulawesi Selatan untuk mendiskusikan materi-materi bahasan yang
akan disajikan pada ceramah-ceramah dan khoybah-khotbah.
d.
Menerbitkan
buletin dan brosur.
Dakwah keluar
a.
Memanfaatkan
hari-hari bersejarah dalam sejarah Islam dengan menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan dakwah,
b.
Menugaskan
muballigh-muballighat memenuhi acara kegiatan dakwah yang dilaksanakan oleh
instansi-instansi pemerintah atauperusahaan-perusahaan swasta,
c.
Menyediakan
tenaga muballigh-muballighat untuk bertugas dakwah di daerah-daerah,
d.
Mengirim
muballigh-muballighat ke daerah-daerah transmigrasi dan daerah-daerah suku
terasing.
4. Kegiatan di bidang pendidikan
Strategi
pendidikan dalam Muhammadiyah yang telah ditetapkan adalah:
1)
Memelihara
jalannya pendidikan agar supaya tetap mengarah kepada tujuan pendidikan
Muhammadiyah,
2)
Memurnikan
kembali fungsi pendidikan Muhammadiyah sesuai keputusan Sidang Tanwir di
Ponorogo, yaitu:
·
Sebagai
media dakwah,
·
Sebagai
pembibitan kader,
·
Sebagai
pensyukuran nikmat akal.
Sampai
tahun1985, sarana-sarana pendidikan yang diusahakan oleh Muhammadiyah di
wilayah Sulawesi Selatan telah berjumlah 364 buah yang terdiri dari TK, SD,
SMP, SMA dsb.
5. Kegiatan di bidang penyantunan
masyarakat
Perkembangan
Muhammadiyah sejak mula berdirinya tidak terlepas dengan usaha-usaha dibidang penyantunan
masyarakat, terutama dalam menyantunu fakir miskin, pemeliharaan anak
yatim-piatu, bantuan pertolongan pada korban bencana alam dan kebakaran,
penyantunan kesehatan ibu dan anak pada khususnya dan kesehatan pada masyarakat
pada umumnya dan lain-lain.
6. Amal usaha lain :
1)
Pimpinan
wilayah Aisyiyah Sulawesi Selatan telah membangun gedung serba guna yang
menjadi pusat kegiatan dan gedung prtemuan sekaligus menjadi salah satu sumber
income organisasi dan pembinaan amal usahanya.
2)
Pimpinan
cabang Muhammadiyah Makassar telah membangun dan mengusahakan apotik sebagai
upaya komersial untuk menunjang pembinaan amal-amal usahanya.
3)
Atas
usaha pimpinan Muhammadiyah cabang Makassar, telah didirikan radio amatir di
masjid Ta’mir dengan nama Al Ihwan.
Kisah lain Haji Umar Faisal Tetsuo Kobayashi silahkan buka "Sejarah Kota Makassar" di
ReplyDeletehttp://nurkasim49.blogspot.com/2011/12/iv.html