Tuesday 12 February 2013

SEKILAS TENTANG MUHAMMADIYAH DI SULSEL


BAGIAN I
SEKILAS TENTANG MUHAMMADYAH
             Muhammadyah merupakan organisasi islam yang telah dikenal , sejak zaman penjajahan belanada di mana pada saat itu seluruh rakyat Indonesia sangat menderita , norma agama porak-poranda akibat pengaruh belanda  .Tradisi pun mengikuti tradisi Kristen yang memang menjadi misinya ,kebiasaan berpesta-pora, berdansa, mabuk-mabukan .
             Keterbelakangan sebagian besar rakyat Indonesia dalam hal beragama juga tanpak semakin parah. Pengenalan terhadap Tuhan mereka lakukan dengan  yang terlintas di pikiran mereka .mereka menyembah pohon, meminta-minta kepada kuburan, dan tempat-tempat yang di anggap keramat. Bahkan batu-batuan, keris bertuah mereka jadikan sebagai benda sakti yang di anggap sebagai kekuatan gaib. Pengaruh hindu budha sangat mewarnai pola pikir mereka  .
             MUHAMMADYAH  DIDIRIKAN
             Akibat pejajahan belanda mengakibatkan kebodohan dan keterbelakangan seluruh kehidupan rakyat Indonesia . Pendidikan hanya dinikmati oleh priyayi dan bangsawan saja . Melihat kondisi tersebut ,KH.Ahmad Dahlan seorang ulama dari kauman,di Yogyakarta bangkit dan mengajak masyarakat Yogyakarta untuk keluar dari perangkap kebodohan itu . dan pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 8 november 1912 Miladiah, didirikan suatu wadah perjuangan yang dikenal dengan nama Muhammadyah. Muhammadyah sebagai wadah pergerajan yang menggunakan dasar dasar dan pendekatan islam menyatukan potensi bangsa Indonesia untuk mengusir para penjajah dari bumi persada ,serta menyelamatkan umat islam dari praktek-praktek beragama yang keliru .
BAGIAN II
LAHIRNYA MUHAMMADYAH DI KOTA MAKASSAR
1.     Berlihnya AS-shirathal Mustaqiem Menjadi Muhammadyah 
              Sekitar tahun 1922, seorang pedagang batik keturunn Arab berasal dari sunenep (Madura) bernama mansyur yamani datang dan membuka usaha dagangnya di jalan Passartraat (jalan nusantara saat ini). Selain sebagai pedagang batik Mansyur yamani juga sebagai muballigh Muhammadyahcabang Surabaya .
             Setelah kurang lebih 3 tahun keakraban hubungan sebagai relasi usaha dan sebagai kawan sefaham dalam mengembangkan agama islam ,akhyrnya di adakan rapat oleh As-Shirathal Mustagiem  di rumah Haji Muhammad Ysuf daeng Mattiro , seorang pedagang hasil bumi di daerang pelabuhan Makassar saat itu ,dan di sepakatilah mendirikan organisasi Muhammadyah di Makassar dengan mengalihkan perkumpulan Ash-Shirathal mustaqim menjadi Muhammadyah Group (ranting) Makassar.
2.     Muhammadyah Makassar 5 Tahun Pertama  
           Sekitar tahun 1926, Muhammadyah Group Makassar di tinggkatkan menjadi Muhammadyah Cabang Makassar, dengan K.H. Abdullah sebagai ketuanya,didampingi oelh tokoh-tokoh lainnya yang juga menjadi pengurus sejak mula didirakannya, antara lain H.Nuruddin daeng Magassing sebagai secretaris.
Mulai berkantor
              Setelah Muhammadyah mendapatkan perhatian yang semakin besar dari masyarakat , maka para pengurus memperbaiki penataan organisasi . salah satu wujud keseriusan tersebut maka para pengurus mengusahakan ruang perkantoran yang sekalius dapat di jadikan tempat pertemuan.
             Anggota Muhammadyah cabang Makassar saat itu terpencar tempat tinggalnya ,bahkan ada yang dari luar kota Makassar. Dengan demikian mereka berinisiatif mengadakan penerngan yang di istilahkan “tabligh” di tempatya masing-masing.
            Pada tahun 1927, Muhammadyah semkin menempatkan kegiatannya. Sekitar bulan juli 1927, anggota Muhammadyah dari kalangan wanita membentuk Aisyiyah cabang Makassar .
Mendirikan Mesjid Ta’mir
         Mesjid di kampung butung yang didirikan oleh Haji Muhammad Thahir dan menjadi tempat orang-orang Muhammadyah sholat jum’at di pandang tidak memadai lagi , terutama mesjid tersebut masih sering terdapat orang yang melakukan bid’ah dan khurafat di dalamnya. Seorang anggota Muhammadyah yang tinggal di kampong pisang yang bernama kamaliddin mewakafkan sebidang tanahnya yang terleyak di suatu lorong di jalan banda untuk dibangun mesjid .
Mendirikan Tempat-tempat Pendidikan
         Pada tahun 1929, Muhammdyah Cabang Makassar berusaha mendirikan 2 buah sekolah yaitu : 
a.       Hollandsche indlandsche shool metode AL-quran (HIS metode AL-quran ) sekolah ini setingkat dengan sekolah dasar
b.      Munir school, setinggkat dengan ,ibtidayyah ,
          Pada tahun 1932 , Muhammadyah Cabang Makassar mendatangkan lagi guru dari Sumatra yaitu haji Abdul Malik Karim dan calon mubaligh Muhammadyah , Amrullah dan Zainal Dahlan .
Pemeliharaan Anak Yatim Piatu
            Pada tahun 1929 , Muhammadyah cabang Makassar menambah lagi usahanya dengan mengusahakan pemeliharaan anak yatim piatu . Oleh karena belum mempunyai gedung khusus untuk itu , maka anak-anak yatim piatu di tampung di rumah Tuan Salamung , salah seorang pimpinan Hizbul Wathan yang bertempat tinggal di lajan Wijnverldweg ( jalan baru).
Ketabahan menghadapi reaksi dan rintangan.
            Kehadiran Muhammadiyah, Aisyiyah dan juga kemudian pemuda Muhammadiyah dengan amalan-amalannya serta cita-cita yang diperjuangkannya, tidak diterima oleh semua orang dengan gembira. Apa saja yang dilakukan organisasi ini, bahkan sampai kepada tingkah laku dan pribadi para pengurusnya tidak luput dari sorotan dan gunjingan orang-orang yang tidak senang, antara lain:
·         Orang-orang Muhammadiyah yang memakai celana panjang dituding orang Nasrani, serta shalat tanpa kopiah disebut kafir,
·         Orang-orang Muhammadiyah yang shalat jum’at dengan sekali adzan dan dengan khotbah bahasa Indonesia atau bahasa daerah dituduh perusak agama dan diperkarakan di pengadilan,
·         Orang-orang Muhammadiyah yang tarwih di bulan Ramadhan dengan 8 rakaat ditambah witir 3 rakaat dengan sekali salam, serta shalat ied di tanah lapang terbuka dituduh orang sesat dan merusak agama,
·         Orang-orang Muhammadiyah dan Aisyiyah yang mengumpulkan bantuan penyantunan yatim piatu dituduh pula hanya memperalat anak yatim untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya,
·         Orang-orang Muhammadiyah yang tidak bertalkin dan membaca surah Yasiin di kuburan orang yang baru meninggal dan tidak pula merayakan dengan selamatan dan sesajen kiriman kepada keluarga yang telah meninggal, dituding sebagai pendurhaka kepada leluhur dan merusak agama nabi Muhammad SAW.
Namun kesemuanya itu dihadapi oleh anggota Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan ketabahan, kesabaran dan semangat beramal yang tinggi.

BAGIAN III
PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DI DAERAH SULAWESI SELATAN DAN SEKITARNYA
1.     Peran pedagang dalam menyebarkan Muhammadiyah
               Dari kota Makassar, Muhammadyah berkembang ke daerah-daerah di pedalaman Sulawesi selatan ,Sulawesi tengah dan Maluku. Pengurus Muhammadiyah cabang Makassar pertama tahun 1926 itu adalah pedagang, kecuali Daeng minggu yang bekerja sebagai mandor kepala di pelabuhan Makassar .  
            Sebagai pedagang , beliau mempunyai relasi dagang dengan pedagang dari daerah lain. Hubungan dagang yang di jalin dengan baik digunakan untuk menyampaikan cita-cita dan perjuangan Muhammadiyah, pedagang-pedagang relasi mereka itu terbuka hatinya memahami dan menerima faham-faham muhammadiyah.
     
2.      Muhammadiyah Terbentuk DI Daerah-daerah
A.    Muhammadiyah di Rappang,PInrang, Pare-pare, dan Majenne
Pada tahun 1928, Haji Zaini sekeluarga mendirikan Muhammadiyah group Rappang . Haji zaini adalah pedagang yang terkenal dan mempunyai hubungan dagang sampai ke Singapura.  Kegiatan pertama yang dilakukan setelah terbentuknya ialah dengan mengadakan pengajian-pengajian. Kemudian mendirikan sekolah ibtidaiyah serta tsanawiyah. Guru-guru didatangkan untuk mengajar dan membina sekolah itu .
Pada tahun 1929 pengurus Muhammadiyah yang telah di tinggkatkan dari group menjadi Cabang, berhasil didirikan Muhammadiyah di pare-pare . pengurus Muhammadiyah Cabang Rappang berhasil mendirikan Muhammadiyah group Majene(mandar) dibawah pinpinan Haji Abdul Rahim dan Haji harun, keduanya adalah ulama di daerah mandar .     
B.   Muhammadiyah di Sengkang clan Soppeng
  Salah seorang pedagang relasi mansyur yamani ialah S. Ahmad Balahmar dari senggkang. Beliau pun antusias dan menjadi anggota Muhammadiyah di Kota Makassar. Di senggkang beliau berusaha mengadakan pertemuan dengan keluarga-keluarganya serta sahabat-sahabatnya . para peserta pertemuan itu pun terbuka hatinya memasuki Muhammadiyah da disepakatilah oleh mereka mendirikan Muhammadiyah di senggkang .
C.  Muhammadiyah di Daerah Pangkajene, Maros dan Barru
Salah seorang pengurus Muhammadiyah cabang Makassar yakni Haji Andi sewang Daeng Muntu. Beliau adalah bangsawan Makassar dan bertempat tinggal di Labbakkang , pangkep , sebuah desa yang terkenal dengan tambak (empang ). Atas usaha beliau, tahun 1928, sebagai seorang bangsawan dan berpengaruh didaerahnya, para kaum bangsawan keluarganya menjadi pedukung, sehingga Muhammadiyah dan amal-amal usahanya berkembang dengan baik.
Amal usaha yang di upayakan Group ini ialah mengadakan pengajian dengan mendatangkan muballigh dari Makassar dan dan mendirikan madrasah diniyah.
D.  Muhammadiyah di Daerah Gowa, dan Takalar
Tahun 1929-1930 adalah tahun-tahun berdirinya Muhammadiyah daerah zelfbestuur (swapraja) Gowa dan onderafdeling Takalar.
Abu Bakar Daeng Bombong salah seorang anggota Muhammadiyah group mariso bertempat tinggal di Pabaeng-baeng dengan pekerjaannya sebagai tukang jahit dan aktif mengikuti pengajian di Mariso, mempelopori berdirinya Muhammadiyah group jongaya pada tahun 1928,. Jongaya adalah desa yang termasuk wilayah swapraja Gowa.
Abu Bakar Daeng Bombong mempunyai mushallah yang dibangunnya sendiri dekat rumahnya. Di moshallah tersebut diadakan pengajian dan peserta peserta pengajian tersebut pun mendirikan Muhammadiyah group jengaya.
3.     Muahammadiyah di Daerah Bantaeng,Bulukumba,Sinjai, Selayar dan jeneponto
A.    Muhammadiyah di Daerah Bantaeng
Empat daerah tersebut adalah wilayah pemerintahan afdehng Bantaeng yang beribukota Banteng . pedagang-pedagang di Bantaeng yang menjadi anggota tersiar dari Muhammadiyah Cabang Makassar berusaha mendirikan Muhammadiyah di daerah itu, pada tahun 1927, Daeng paris, Osman alias Sammang, Tanawali dan Muhammad Osman adalah pelopor brdirinya Muhammadiyah group Bantaeng pada tahun 1927 tersebut .
 Pada tahun 1931,telah dapat pula didirikan Aisyiyah group Bantaeng dipinpin oleh sitti Daeng Lebo , serta didirikan pula Hizbul Wathan dengan pinpinan salamun . Pengajian-pengajian pun rutin di adakan dengan mendatangkan muballigh dari Makassar. Usaha pendidikan pun di upayakan dengan mendirikan madrasah ibtidaiyah.
B.     Muhammadiyah di daerah Bulukummba
Pada tahun 1930, pemuka agama islam di ponre( sebuah kampong di Bulukumba) mendirikan satu organisasi islam dengan nama SADAR. Pada mulanya organisasi ini giat melakukan kursus pemberantasan buta huruf dan membuka taman bacaan. Pada tahun 1931, pengurus organisasi ini menyampaikan permohonan kepada pemerintah setempat untuk mengadakan sekolah yang lebih teratur. Controleur Bulikumba menyatakan bahwa pemerintah hanya mengizinkan membuka sekolah kepada organisasi yang di akui pemerintah . Atas kesepakatan semua anggota dan pengurus SADAR, organisasi inipun di alihkan menjadi Muhammadiyah  Maka pada tahu 1932, konsulat Muhammadiyah Sulawesi selatan yang waktu itu sudah terbentuk dan di tugaskan oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta untuk membina dan mengembangkan Muhammadiyah di Sulawesi selatan , dan mengirim Mansyur Yamani untuk meresmikan muhammadiyah group ponre .
C.    Muhammadiyah di Daerah Sinjai   
Pada tahun 1928, Muhammadiyah group sinjai dapat didirikan atas kepeloporan Ahmad Marsuki bersama Muhammad Sanusi , Andi bintang dan labuana usaha mereka mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat . pada tahun 1928 Muhammadiyah sinjai juga mendirikan Hizbul Wathan group Balangnipa-sinjai . Pada tahun 1930 Muhammadiyah Balangnipa-sinjai dengan membentuk pula Aisyiyah group .
D.    Muhammadiyah di Pulau Selayar
Penduduk Pulau Selayar termasuk rumpun suku Makassar . Orang-orang dari Selayar yang berdiam di Makassar banyak yang berperan dalam menyebarkan faham dan cita-cita Muhammadiyah .Pada tahun 1930 kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam menyebarkan faham dan cita-cita Muhammadiyah terutama dalam bentuk pengajian keliling dan tidak mendapat hambatan yang berarti sehingga pada tahun 1930-1931 muhammadiyah dapat berkembang dengan baik dan disusul didirikannya Aisyiyah.
E.     Muhammadiyah di Daerah Jeneponto
Pada tahun 1929 , Sinowa Daeng Lalang, seorang anggota tersiar Muhammadiyah Group Makassar telah giat memberikan penjelasan-penjelasan tentang Muhammadiyah kepada keluarga dan sahabatnya.
Selain melakukan tabligh keliling dan pengajian, Muhammadiyah group jeneponto mendirikan madrasah ibtidaiyah dan Tsanawiyah , keduanya di bangun pada tahun 1933. Untuk membina pendidikan itu didatangkan guru yang bernama Hasyimn dari jawa. Pada tahun tersebut juga telah di bentuk Muhammadiyah group Tamanroya dan group Arungkeke. Disususl group Poko’bulu dan group tanetea .kehadiran dan perkembangan Muhammadiyah di jeneponto berjalan lancer karena dipelopori tokoh-tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh di dalam masyarakat .
F.     Muhammadiyah Di Luwu dan Tana Toraja  
Andi Djurangga, Vice Voorsitter Muhammadiyah group sengkang , adalah seorang bangsawan dari daerang Luwu(palopo) yang bermukim di sengkang . sebagi seorang aktifis Muhammadiyah beliaulah yang berjasa membawa dan menyebarkan faham dan cita-cita Muhammadiyah di daerah kerajaan Luwu.
Pada tahun 1929, setahun setelah kehadirannya di daerah Luwu ,Muhammadiyah group palopo di angkat menjadi Muhammadiyah cabang palopo , Pada tahun 1930 Muhammadiyah Cbang palopo telah dapat membuka sekolah dengan menggunakan gedung yang dibangun secara gotong-royong . Di bukanya standar-school Muhammadiyah dan Wustha Mu’allimin dengan mendatangkan guru dari Yogyakarta bernama ustads Muhsin .
G.    Muhammadiyah di Enrekang
Pada tahun 1933 , Muhammadiyah menancapkan kakinya didaerah yang sebagian besar daerahnya adalah pegunungan dengan status sebagai group di bawah pimpinan Muhammadiyah Cabang rappang .
Selain dari menggiatkan pengajian-pengajian Muhammadiyah group enrekang mendirikan sekolah Mu’Allimin dengan guru pembimbing M. Arifin yang di datangkan dari Baru sangkar (sumatera) di bantu oleh guru dari enrekang sendiri .
4.     Beberapa peristiwa penting Muhammadiyah di Sulawesi selatan pada lima tahun pertama
a.       Sholat Idul fitri di lapangan terbuka di sengkang yang banyak menuai protes dan kecaman dari pihak-pihak yang tidak menyetujuinya
b.      Peristiwa tabligh umum Bulukumba yang mengakibatkan pertengkaran antara para pengurus Muhammadiyah dengan pihak yang melarang tabligh tersebut .
c.       Melayani tantangan berdebat secara terbuka di muka umum dengan ulama yang di akui keulamaanya di masyarakat palopo
BAGIAN IV
PERKEMBANGAN PISIK ORGANISASI SAMPAI MASA PENDUDUKAN JEPANG, MUKTAMAR MUHAMMADIYAH KE-21 DAN MUSYAWARAH DAERAH YANG DILAKUKANNYA
1.      Perkembangan pisik Muhammadiyah selama 15 tahun (1926-1941).
Sejak mula kehadirannya pada tahun 1926 di kota Makassar sampai dengan bulan April 1941, di Sulawesi Selatan telah terbentuk enam cabang Muhammadiyah dan 81 groep (ranting). Selain itu, majelis perwakilan Muhammadiyah Sulawesi Selatan juga membina ranting Salabangka di Sulawesi Tengah (sebagai ranting ke-82).
Sampai dengan tahun 1932, Muhammadiyah telah mendirikan 21 buah sekolah yang terdiri dari Volksschool (sekolah dasar), HIS (Hollandsche Inlandsche School), Diniyah School (madrasah), Standardschool (sekolah dasar yang didalamnya diajarkan bahasa Belanda) dan beberapa kursus wanita.
Sampai dengan tahun 1941, telah mendirikan 56 buah sekolah dan madrasah dengan jumlah murid sekitar 5.000 orang, yang diasuh dan dibina oleh 79 orang guru. Juga mendirikan 41 buah masjid dan mushalla yang tersebar di ranting dan cabang-cabang.
Suatu peristiwa organisasi yang sangat bersejarah bagi Muhammadiyah di daerah Sulawesi Selatan ini ialah Muktamar Muhammadiyah ke-21 di kota Makassar, yang telah berlansung dengan baik selama 7 hari, yakni dari tanggal 1-7 Mei 1932. Pusat kegiatan muktamar ini diselenggarakan di lapangan Karebosi di jantung kota Makassar, dihiasi dengan bendera Muhammadiyah, Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan, yang jumlahnya tidak kurang dari 3.000 buah. Muktamar ini dihadiri sekitar 3.000 orang utusan dan penggembira.





2.     Di masa pendudukan Jepang.
Pemerintah Jepang pada saat itu melakukan pembekuan semua kegiatan organisasi rakyat, termasuk membekukan Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan memerintahkan untuk menutup semua sekolah-sekolahnya.
Oleh karena hubungan surat-menyurat dari konsulat Muhammadiyah Sulawesi Selatan dengan cabang dan rantingnya di daerah pedalaman dianggap tidak aman, maka konsul Muhammadiyah Sulawesi Selatan H. Andi Sewang Daeng Muntu berusaha mendatangi cabang dan ranting Muhammadiyah se Sulawesi Selatan dengan berkendaraan sepeda secara marathon..
Untuk memperoleh simpati dari umat Islam yang menjadi penduduk terbesar di daerah ini, pemerintah Jepang mendirikan organisasi baru dengan nama “Jam’iyah Islamiyah” sebagai satu-satunya organisasi bagi umat Islam.
Organisasi ini dipimpin oleh orang Jepang, diketuai oleh seorang perwira bernama Umar Faisal Kobayasi. Agar mendapat simpati masyarakat, Umar Faisal Kobayasi yang dapat berbicara dan berpidato dalam bahasa Arab, diisulkan sebagai ulama muslim yang telah menempuh pendidikan di Al-Azhar Mesir. Umar Faisal Kobayasi didampingi oleh orang-orang Jepang yang mengaku muslim.
Untuk memperoleh kepercayaan dari umat Islam, beberapa tokoh Islam Sulawesi Selatan ditarik dalam kepengurusan Jam’iyah Islamiyah. Beberapa tokoh Muhammadiyah tidak dapat mengelak dari keharusan ikut serta dalam organisasi ini. Dapat dipahami bahwa mereka ikut dalam organisasi bentukan Jepang ini untuk menghindari tindakan dan perlakuan pemerintah dan tentara Jepang yang dapat mencelakakannya.
Usaha lain dari pemenrintah jepang untuk menarik simpati ummat Islam ialah mendirikan sekolah untuk menampung pemuda-pemuda islam yang sekolahnya telah ditutup. Untuk mengajarkan pelajaran agama Islam diangkat beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai guru.
Banyak juga pimpinan Pemuda Muhammadiyah, terutama pimpinan Hizbul Wathan, yang mendapat tugas menjadi pemuka di Seinen dan, organisasi pemuda bentukan Jepang, bahkan ada yang memasuki Hei-ho, tentara sukarela bentukan Jepang. Mereka memasuki badan-badan tersebut untuk mendapat pengetahuan kemiliteran, menggunakan senjata api, yang ternyata sangat besar manfaatnya bagi mereka pada waktu revolusi kemerdekaan.

BAGIAN V
MUHAMMADIYAH DAN PERJUANGAN KEMERDEKAN DI SULAWESI SELATAN

1.     Muhammadiyah kembali aktif
Berita tentang proklamasi kemerdekaan baru diketahui secara terbatas di daerah Sulawesi Selatan sekitar bulan September 1945, yakni setelah Dr. Sam Ratulangi dan Andi Pangerang PettaRani telah berada di daerah ini sekembalinya menghadiri momentum bersejarah,proklamasi kemerdekaan tersebut.
Warga Muhammadiyah yang selama pendudukan Jepang mengendapkan kegiatannya, setelah menyambut berita proklamasi kemerdekaan itu dengan kembali bersemangat melanjutkan perjuangannya. Pengajian-pengajian dan pertemuan-pertemuan terbatas mereka adakan dengan tema sentral yaitu perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Namun demikian, di semua tingkat kepengurusan, mempunyai pandangan dan sikap yang sama untuk menata kembali organisasi dan menghidupkan amal usahanya, seraya melibatkan diri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
2.     Warga Muhammadiyah dalam pemberontakan bersenjata
Pada tanggal 23 September 1945, pasukan sekutu terdiri dari tentara Australia ditambah dengan tentara Inggris mendarat di kota Makassar. Beberapa tentara Belanda menggandeng para tentara Australia, untuk memepersiapkan sarana dan personil dalam rangka pembentukan pemerintahan sipil di Sulawesi Selatan yang dinamakannya Netherlandsch Indie Civil Administration, populer dengan nama NICA. Memasuki tahun 1946, Belanda mengusahakan memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah pedalaman di daerah Sulawesi Selatan. Perlawanan rakyat terhadap tentara NICA tak dapat dielakkan dan semakin menampakkan bentuknya serta tersebar di berbagai wilayah. Anggota-anggota Muhammadiyah, terutama yang pernah aktif di kepanduan Hizbul Wathan tampil memegang peran dalam mengorganisir perlawanan rakyat ini, bersama-sama dengan pemuda dari golongan lain. Terbentuklah kelasykaran-kelasykaran, baik di kota makassar maupun di daerah-daerah.
Pada bulan Mei 1946, kelasykaran di Sulawesi Selatan yang berjumlah 19 kelompok, mengadakan pertemuan besar di Polongbangkeng dan membentuk organisasi gabungan kelasykaran sebagai upaya mempersatukan kekuatan menghadapi Belanda, dengan nama Lasykar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Sebagai panglima dari kelasykaran gabungan ini adalah Ranggong Daeng Romo dari kelasykaran Lipang Bajeng. Adapun pimpinan pemerintahan republik Indonesia dipercayakan kepada Haji Makkaraeng Daeng Manjarungi, ketua Muhammadiyah ranting Palleko waktu itu, sebagai pelaksana pemerintahan, karena Dr. Sam Ratulangi, sebagai gubernur Sulawesi berada di daerah pendudukan (Makassar).
Belanda, yang dipelopori Letnan Jendral H. J. Van Mook, mengadakan konperensi di Malino pada tanggal 15-25 Juni 1946. Pada konperensi ini Belanda memutuskan meletakkan dasar-dasar pembentukan negara Indonesia serikat. Kemudian disusul dengan konperensi Denpasar (Bali) pada tanggal 8 Desember 1946. Konperensi ini melahirkan negara Indonesia Timur, lengkap dengan pejabat-pejabat terasnya.
3.     Konperensi darurat Muhammadiyah daerah Sulawesi Selatan di kota Makassar
Konsulat Muhammadiyah Sulawesi Selatan memepersatukan pendapat dan sikap menghadapi situasi yang semakin buruk. Ada dua alasan konsulat Muhammadiyah memandang perlu mengadakan konperensi pada saat itu, yaitu:
a.       Banyaknya desakan-desakan dari daerah agar Muhammadiyah kompak dan utuh menghadapi keadaan.
b.      Sulitnya melakukan hubungan dengan pimpinan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta guna memperoleh petunjuk-petunjuk dan pedoman menghadapi keadaan yang semakin genting.
Konperensi darurat (istimewa) Muhammadiyah daerah Sulawesi Selatan yang bersejarah itu dilangsungkan pada bulan Juni 1946, bertempat di Muhammadiyah ranting Mamajang. Konperensi darurat (istimewa) itu berlangsung selama dua hari dengan menetapkan keputusan yang sangat bersejarah dan berbobot, yaitu:
1)      Muhammadiyah di daerah Sulawesi Selatan berdiri di belakang republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
2)      Muhammadiyah Sulawesi Selatan tetap di bawah koordinasi pimpinan pusat Muhammadiyah di Yogyakarta.
4.     Pengorbanan warga Muhammadiyah dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan.
Perjuangan rakyat Sulawesi Selatan menghadapi Belanda semakin meningkat setiap hari. Siang dan malam, pasukan NICA dikerahkan ke daerah Polongbangkeng, karena mereka tahu bahwa di daerah itulah pusat kekuatan para pejuang. Sejak bulan Februari 1946 sampai Februari 1947, terjadi pertempuran sekitar 57 kali. Sekolah-sekolah, masjid dan mushalla Muhammadiyah telah berfungsi ganda, selain sebagai tempat mendidik anak-anak atau tempat melaksanakan shalat berjamaah, juga menjadi arena penggemblengan semangat, tempat diskusi untuk mencari perlengkapan militer, terutama kebutuhan logistik yang akan disuplaikan ke kubu-kubu para pejuang.
Jatuhnya korban yang tidak sedikit dalam mempertahankan kemerdekaan, tidaklah menyebabkan lemahnya semangat dan keberanian warga Muhammadiyah terutama pemuda-pemudanya. Mereka dengan ijtihadnya masing-masing berkeyakinan bahwa sikap politik Muhammadiyah yang telah dicetuskan pada konperensi darurat (istimewa) di Mamajang-Makassar, bahwa Muhammadiyah berdiri di belakang Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta tetap menjadi tekad membara dalam dada setiap warga Muhammadiyah di daerah ini. Dalam kondisi dan situasi serba sulit mereka berupaya menggerak-lincahkan organisasi agar dapat memberikan saham optimal dalam perjuangan merealisasikan keputusan politik tersebut di atas. Usaha ini dilakukan, selain karena dorongan rasa kewajiban menegakkan Islam dan menjayakan umatnya secara teratur dan terarah, juga karena berkeinginan agar organisasi ini menjadi sarana perjuangan yang efektif dalam memperkokoh tekad warganya membentengi kemerdekaan bangsanya.
  

BAGIAN VI
KEMBALI KE PANGKUAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
1.     Muhammadiyah setelah terbentuk partai Masyumi
 Permulaan tahun 1950 terbentuklah Masyumi cabang Makassar sebagai cabang pertama di Sulawesi Selatan dengan Abdul Haji Daeng Mangka dari Muhammadiyah sebagai ketuanya. Dalam waktu singkat, partai Masyumi telah merata terbentuk di seluruh Sulawesi. Pengurus dan anggota Muhammadiyah, Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah di cabang dan di ranting berusaha pula melibatkan diri dalam pembentukan cabang, anak cabang dan ranting partai Masyumi bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya ditempatnya masing-masing. Di tingkat kepengurusan anak cabang dan ranting dari partai inipun pada umumnya dipercayakan kepada pengurus dan anggota muhammadiyah yang dikenal berpengalaman dalam keorganisasian.
Pada pemilihan umum pertama tahun 1955, empat diantara enam kursi parlemen Republik Indonesia yang diperoleh oleh Masyumi di daerah pemilihan Sulawesi Selatan adalah pimpinan-pimpinan Muhammadiyah. Melalui pemilihan umum ini pula telah menempatkan beberapa pengurus dan penggerak Muhammadiyah, Aisyiyah dan Pemuda Muhammadiyah menduduki kursi di lembaga perwakilan rakyat tingkat kabupaten dan kotapraja, baik sebagai anggota DPRD maupun sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
2.     Muhammadiyah di tengah-tengah kancah gerakan DI-TII Sulawesi Selatan
Sejak tahun 1953, Sulawesi Selatan dan Tenggara dalam suasana tidak aman akibat dari adanya gerakan DI dan TII, sebagian besar pedesaan di pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara dalam penguasaan mereka. Ranting-ranting Muhammadiyah dan amal usahanya menjadi lumpuh. Sekolah dan madrasahnya tutup, guru-guru meninggalkan posnya, hijrah ke kota atau ke daerah lain. Terdapat juga pengurus atau guru-guru yang terpaksa ikut masuk hutan. Ada pula diantara pemuka-pemuka atau pengurus muhammadiyah dan Aisyiyah yang diculik dikediamannya, atau dihadang lalu diculik dalam perjalanannya. Bertahun-tahun mereka di tengah-tengah kekuasan DI-TII, barulah setelah operasi pemulihan keamanan yang dilakukan oleh TNI secara intensif, mereka dapat dibebaskan.
3.     Masa penataan kembali organisasi dan amal usaha
a.      Penyelenggaraan konperensi-konperensi daerah
Selama dasa warsa kelima telah diselenggarakan konperensi daerah, yaitu:
·         Pada tahun 1950 diselenggarakan di Bantaeng
·         Pada tahun 1951 diselenggarakan di Makale
·         Pada tahun 1952 diselenggarakan di Pare-pare
·         Pada tahun 1954 diselenggarakan di Rappang
·         Pada tahun 1959 diselenggarakan di Watangsoppeng
Konperensi  daerah di Bantaeng adalah konperensi daerah pertama di bawah kekuasaan negara dan bangsa Indonesia. Selain itu, konperensi tersebut merupakan:
·         Forum reuni para pengurus dan pimpinan Muhammadiyah se Sulawesi Selatan selama hampir 10 tahun lamanya mereka membekukan diri di tempat masing-masing.
·         Ukuran serta menjadi fakta bahwa kecintaan dan kepercayaan kepada organisasinya demikian pula semangat dan dedikasi beramal didalamnya tidaklah menjadi pudar dalam kesulitan yang berlangsung bertahun-tahun dan rintangan menggunung yang selalu dihadapinya.
b.      Perubahan struktur organisasi
Pada tahun 1953, pemerintah telah melakukan pemekaran daerah pemerintahan propinsi kemudian disusul dengan pemekaran daerah pemerintahan kabupaten-kotapraja. Untuk menyesuaikan dengan struktur pemerintahan yang berlaku, maka dilakukan pula perubahan susunan dan jenjang kepengurusan dalam Muhammadiyah, termasuk organisasi otonomnya.
c.       Konperensi daerah menjadi musyawarah wilayah
Untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan organisasi dan pembinaan amal usaha maka antara tahun 1960 sampai 1965, telah dilangsungkan konperensi daerah yang kemudian dirubah namanya menjadi musyawarah wilayah, yaitu:
·         Tahun 1961 bertempat di Sengkang
·         Tahun 1962 bertempat di Bantaeng
·         Tahun 1964 bertempat di Pinrang
·         Tahun 1965 bertempat di Jeneponto
4.     Perubahan-perubahan dalam sikap beragama.
Hal dan masalah yang dulunyadituduh sebagai faham sesat dan merubah-ubah agama, berangsur-angsur telah diterima dan dibenarkan oleh masyarakat.
·         Shalat  jum’at dengan sekali adzan dan dengan khotbah bahasa Indonesia atau bahasa daerah telah merata dilakukan di Sulawesi Selatan.
·         Shalat Iedul Fitri atau shalat Iedul Adha di lapangan terbuka (bukan di dalam masjid) telah berlaku pula baik di perkotaan maupun di desa-desa.
·         Shalat tarwih dan witir di bulan Ramadhan dengan jumlah rakaat 8 ditambah 3 rakaat witir semakin banyak yang melakukannya.
·         Penguburan jenazah tanpa pembacaan talkin di atas kuburan itu, demikian pula tidak melakukan selamatan tahlilan pada hari-hari tertentu dari kematian seseorang, tidak lagi dituduh perbuatan merubah-ubah agama dan tidak lagi menjadi perdebatan yang berakhir dengan perselisihan.
·         Pengaluran pungutan zakat fitrah dan zakat harta kepada fakir miskin, yatim piatu, pembangunan proyek-proyek sosial, tidak lagi digunakan oleh modim-modim di desa dan pembantu-pembantunya untuk kepentingan sendiri.
Dan banyak lagi perubahan dalam sikap beragama yang menggembirakan.



BAGIAN VII
MUHAMMADIYAH DI SULAWESI SELATAN DAN PERISTIWA PENGHIANATAN G.30.S-PKI
1.     Gambaran kekuatan Komunisme di Indonesia
Memasuki tahun enam puluhan, keadaan perekonomian di Indonesia semakin memburuk, kehidupan rakyat semakin sulit. Kebutuhan pangan diatur dengan sistem jatahan dan untuk memperolehnya rakyat harus antri panjang. Tingkat inflasi mencapai di atas 600% pada tahun 1964.
Kondisi ekonomi dan kehidupan masyarakat yang demikian menjadi pesemaian subur semakin melebarnya pengaruh PKI yang datang kepada buruh tani dengan janjinya akan membagikan tanah. Kaum buruh di kota-kota lebih mudah lagi dipengaruhi dengan jebakan akan menjadikan mereka sebagai pemilik dari perusahaan tempat mereka bekerja, pabrik-pabrik dan sumber-sumber produksi lainnya menjadi daya penarik yang sangat ampuh. Mereka pun berusaha dan berhasil menyusup ke tubuh alat-alat kekuasaan negara dan berhasil mempengaruhi sebagian dari mereka.
Indonesia waktu itu menjadi negara yang terbesar kekuatan komunisnya di dunia, di luar dua negara kubu komunis sendiri yaitu Rusia dan RRC. PKI merasa telah kuat. Kekuatannya berakar pada kaum buruh dan petani, pada pemuda dan sebagian alat-alat kekuasaan negara.
2.     Kokam wilayah Sulawesi Selatan didirikan
Melihat situasi politik yang semakin tidak menentu dan agresifitas PKI yang semakin merajalela, maka Pengurus Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) dibentuk. Hal ini dimaksudkan untuk membentengi generasi muda Indonesia khususnya umat Islam dari pengaruh buruk PKI.
Pada tanggal 9-11 November 1965, diselenggarakan konperensi kilat darurat dari seluruh pimpinan Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah se Indonesia di Jakarta untuk memusyawarahkan “apa dan bagaimana Muhammadiyah menghadapi penghianatan PKI”. Disepakatilah suatu keputusan yaitu “menghancurkan sampai lenyap gestapu-PKI adalah termasuk ibadah”. Dalam konperensi ini diputuskan pula untuk membentuk kesatuan khusus yang mempunyai tugas pokok, antara lain:
a.       Bersama-sama dengan ABRI menghancurkan gestapu-PKI sampai ke akar-akarnya.
b.      Menjaga keselamatan warga, pimpinan-pimpinan dan harta benda Muhammadiyah dari kebiadaban penteroran gestapu-PKI.

BAGIAN VIII
DALAM ERA ORDE BARU
1.      Perkembangan Muhammadiyah pada permulaan Orde Baru (ORBA)
Terjalinnya hubungan baik antara pra pemimpin Muhammadiyah di semua tingkatan kepengurusan dengan pihak pejabat pemerintahan, terutama dengan alat-alat kekuasaan negara, semakin menciptakan suasana yang melapangkan medan bagi Muahammadiyah untik mengembangkan dirinya. Keadaan yang melegakan itu menyebabkan beberapa ranting Muhammadiyah dan organisasi-organisasi dalam lingkungannya yang sekian lama tidak aktif akibat beberapa sebab, para pengurusnya kembali bergairah dan bangkit. Selain itu, dari beberapa daerah dan tempat yang dahulunya tidak bersedia menerima Muhammadiyah, berusaha pula mendirikan ranting. Selama periode 1965 sampai tahun 1968, telah dibentuk 25 Pimpinan Daerah, 106 Pimpinan cabang dan 60 ranting.
2.     Muhammadiyah dalam status Ormaspol
Pemerintah orde baru berkehendak memeberikan kesempatan kepada Muhammadiyah ikut serta perperandalam bidang politik. Dengan berperannya dalam bidang politik pemerintahan menjadikan Muahammadiyah organisasi masyarakat yang berfungsi politik atau disingkat ormaspol.
Sebagai akibat dari status dan fungsi ormaspol tersebut, Muhammadiyah wilayah Sulawesi Selatan Tenggara menyediakan tenaga-tenaga yang ditugaskannya ikut dalam kegitan-kegiatan politik praktis di daerah dalam kelompok atau fraksi spiritual, baik dalam lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong Sulawesi Selatan maupun dalam Badan Pemerintahan Harian (BPH) Sulawesi Selatan yang bertugas mendampingi dan membantu Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sulawesi Selatan menjalankan tugasnya.
3.     Muhammadiyah Partai Muslimin Indonesia
Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) lahir pada bulan Februari 1968, berlandaskan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia no. 70 tahun 1968. Sejak lahirnya partai ini, Muhammadiyah kembali kepada status dan fungsi yang telah diembannya sejak mula didirikannya sebagai organisasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah amar ma’ruf dan nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat.
4.     Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar
Muktamar Muhammadiyah ke-38 yang dilangsungkan di Makassar (Sulawesi Selatan) pada bulan September 1971, dilatarbelakangi antara lain oleh adanya anggapan pihak-pihak lain yang menilai adanya hubungan antara Muhammadiyah dengan wadah politik tertentu. Muktamar ini dimaksudkan untuk menetapkan keputusan yang penting dan fundamental tentang hubungan Muhammadiyah dengan partai-partai dan organisasi lain. Keputusan tersebut adalah:
a.       Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun.
b.      Setiap anggota Muhammadiyah, sesuai dengan hak asasinya, dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku dalam persarikatan Muhammadiyah.
c.       Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah setelah pemilihan umum 1971, Muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya.
d.      Untuk lebih meningkatkan partisipasi Muhammadiyah dalam pelaksanaan pembangunan nasional, mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muahammadiyah untik menggariskan kebijaksanaan dan mengambil langkah-langkah dalam pembangunan ekonomi, sosial dan mental spiritual.
Selain keputusan-keputusan, muktamar ini juga menetapkan program kerja Muhammadiyah periode 1971-1974 dengan rumusan pokoknya mewujudkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar yang berkesanggupan menyampaikan ajaran Islam yang bersumber Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW kepada semua lapisan dan golongan masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, sebagai kebenaran serta segala hal yang diperlukan.

BAGIAN IX
AMAL USAHA MUHAMMADIYAH DI WILAYAH SULAWESI SELATAN
1.     Keadaan pisik organisasi
·         Telah terbentuk 22 Pimpinan Muhammadiyah Daerah pada setiap kabupaten-kotamadya kecuali pada kabupaten Mamuju.
·         Telah terbentuk 129 cabang dan 156 ranting dengan anggota seluruhnya 9812 orang dengan perincian 6432 anggota pria dan 3380 anggota wanita.
2.     Organisasi-organisasi otonom
Sampai tahun 1985, organisasi otonom Muhammadiyah yang ada adalah:
·         Aisyiyah
·         Nasyiyatul Aisyiyah
·         Pemuda Muhammadiyah
·         Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
·         Ikatan Pelajar Muhammadiyah
·         Tapak Suci Putera Muhammadiyah.
3.     Kegiatan di bidang dakwah
Dakwah ke dalam
a.       Mengadakan pengajian di kalangan pimpinan secara rutin,
b.      Mengadakan pengajian untuk anggota-anggota secara rutin,
c.       Setiap menjelang tibanya bulan Ramadhan, diadakan pertemuan muballigh-muballighat Muhammadiyah se Sulawesi Selatan untuk mendiskusikan materi-materi bahasan yang akan disajikan pada ceramah-ceramah dan khoybah-khotbah.
d.      Menerbitkan buletin dan brosur.
Dakwah keluar
a.       Memanfaatkan hari-hari bersejarah dalam sejarah Islam dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dakwah,
b.      Menugaskan muballigh-muballighat memenuhi acara kegiatan dakwah yang dilaksanakan oleh instansi-instansi pemerintah atauperusahaan-perusahaan  swasta,
c.       Menyediakan tenaga muballigh-muballighat untuk bertugas dakwah di daerah-daerah,
d.      Mengirim muballigh-muballighat ke daerah-daerah transmigrasi dan daerah-daerah suku terasing.
4.      Kegiatan di bidang pendidikan
Strategi pendidikan dalam Muhammadiyah yang telah ditetapkan adalah:
1)      Memelihara jalannya pendidikan agar supaya tetap mengarah kepada tujuan pendidikan Muhammadiyah,
2)      Memurnikan kembali fungsi pendidikan Muhammadiyah sesuai keputusan Sidang Tanwir di Ponorogo, yaitu:
·         Sebagai media dakwah,
·         Sebagai pembibitan kader,
·         Sebagai pensyukuran nikmat akal.
Sampai tahun1985, sarana-sarana pendidikan yang diusahakan oleh Muhammadiyah di wilayah Sulawesi Selatan telah berjumlah 364 buah yang terdiri dari TK, SD, SMP, SMA dsb.
5.      Kegiatan di bidang penyantunan masyarakat
Perkembangan Muhammadiyah sejak mula berdirinya tidak terlepas dengan usaha-usaha dibidang penyantunan masyarakat, terutama dalam menyantunu fakir miskin, pemeliharaan anak yatim-piatu, bantuan pertolongan pada korban bencana alam dan kebakaran, penyantunan kesehatan ibu dan anak pada khususnya dan kesehatan pada masyarakat pada umumnya dan lain-lain.
6.      Amal usaha lain :
1)      Pimpinan wilayah Aisyiyah Sulawesi Selatan telah membangun gedung serba guna yang menjadi pusat kegiatan dan gedung prtemuan sekaligus menjadi salah satu sumber income organisasi dan pembinaan amal usahanya.
2)      Pimpinan cabang Muhammadiyah Makassar telah membangun dan mengusahakan apotik sebagai upaya komersial untuk menunjang pembinaan amal-amal usahanya.
3)      Atas usaha pimpinan Muhammadiyah cabang Makassar, telah didirikan radio amatir di masjid Ta’mir dengan nama Al Ihwan.